Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan
Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak
di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan
Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia. Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292)
dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam di
Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya
Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.
Sejak abad ke-9 sampai ke-11 M berita-berita pelayaran dan geografi Arab juga telah menambah sumber-sumber sejarah. Berita-berita itu, antara lain dari Ibn Khurdazbih (850),Ya’qubi (875-880), Ibnu Faqih (902), Ibnu Rusteh (903), Ishaq Ibn Iman (lk.907), Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Abu Zaid dari sirat (lk. 916), Abu Dulaf (lk.940), Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal abad ke-10). (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:22). Hal ini membuktikan bahwa islamisasi telah ada sebelum kerajaan Samudra Pasai didirikan. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 dan ke-8 sampai abad ke-11 M di daerah pesisir selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat islamisasi.
Proses Pembentukan
awal Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh
Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada tahun 1238 M, ia
mendapat tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang dijadikan tempat
pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga
mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah
untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada. Beliau kemudian
mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al
Saleh (1285 – 1297).
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah
ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah
(1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521. Makam
Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal
yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir
pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25
hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di
sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju,
ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun
ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi
dinding dan menara kayu.
Namun Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan
tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan
seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya
berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik
tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera
telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan
Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo
dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur
Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak),
Basma dan Samara (Samudera).
Pada pemerintahan Sultan Malik Al Saleh masih belum terlihat
tanda-tanda kejayaan yang signifikan, namun pada pemerintahannya setidaknya
kerajaan Samudra pasai merupakan kerajaan yang besar dari wilayah Aceh
sendiri. letak kerajaan Samudra Pasai kurang lebih 15 Km disebelah
timur Lhoukseumawe, Nangroe Aceh. Diapit oleh sungai besar yaitu sungai Peusungan dan
sungai Jambo Aye, jelasnya Kerajaan Samudra Pasai adalah daerah aliran sungai
yang hulunya berasal jauh ke pedalaman daratan tinggi Gayo Kab. Aceh
Tengah. Letaknya yang sangat strategis membuat Samudra pasai menjadi
kerajaan yang besar dan berkembang pesat pada zaman itu.
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh
putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan Ganggang Sari
putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin
emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan
berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia
dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai
tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah,
kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya
dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah
menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah,
rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah
menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa.
Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu
Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia
langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik
az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit
antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan.
Pada awal abad ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan
Samudra Pasai sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah
mengalami berbagai kemajuan dibidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan,
terutama di bidang pertanian dan perdagangan.
(Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan lain, seperti Malaka yang saat itu Malaka
menjadi pusat perdagangan Dunia, yang diikuti pula pernikahan antara raja-raja
malaka dengan para putri Pasai (Gade Ismail, M.1997:28).
Tome Pires menceritakan tentang hubungan antara Pasai dan
Malaka,terutama pada masa pemerintahan Saquem Darxa yang dapat disamakan dengan
nama sultan Iskandar Syah raja kedua Malaka.
(Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23).